Home - Pemerintah Kota Tebing Tinggi

Selamat Datang

di Website Resmi Pemerintah Kota Tebing Tinggi

Menelaah Arah Kelompok-Kelompok Kepentingan: Kaitan Membangun Peta Relasi Kepentingan Pemerintah

Demokrasi selalu didasarkan pada prinsip utilitarianisme (mayoritas), sehingga harus ada jaminan terhadap hak-hak dasar. Oleh karena itu muncullah ide nomokrasi yang salah satu unsur utamanya adalah supremasi konstitusi. Konstitusi menjadi yang tertinggi karena diasumsikan sebagai wujud “kesepakatan seluruh rakyat”, bukan hanya “kesepakatan mayoritas rakyat”. Pada penerapannya, sejarah Indonesia mencatat berbagai upaya negara dalam menjamin hak-hak masyarakat dalam meng-ekspresikan kondisi dan keberadaaannya selalu berakhir pada tindakan represif dan somasi oleh negara. Kita dilema mengenai konsep demokrasi apa yang sebenarnya dijalankan oleh pemerintah saat ini? Mengenai bentuk partisipasi rakyat terhadap produk hukum dalam praktik kehidupan bernegara, terdapat dinamika antara demokrasi dan nomokrasi.

Produk hukum yang diciptakan oleh negara, meskipun mendapat persetujuan mayoritas tetap berjalan sesuai dengan kepentingan pribadi dan kelompok penguasa. Perbedaan antara pemaknaan gerakan intelektual di Indonesia oleh pemerintah mengkategorisasikan mereka yang turun ke jalan menuntut keadilan, keutamaan, keterbukaan dan kepastian terhadap penyelenggaraan pemerintahan adalah wabah yang harus dibungkam.

Teo Reffeisen seorang Pengacara Publik LBH Jakarta menanggapi tindakan kekerasan kriminal oknum kepolisian yang membanting salah satu demonstran pada aksi di Hut Kabupaten Tanggerang waktu lalu menyatakan "Permintaan maaf tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan tindakan brutal kepolisian, oknum tersebut harus berkomunikasi secara pidana, moral, dan disiplin". Keberadaan Polri ditengah masyarakat tidak lagi mencerminkan perilaku yang mengayomi, melayani, dan melindungi sesuai dengan moral keberadaannya.

Tampaknya sudah menjadi sejarah umum bahwa intelektual konform, kelompok yang mendukung kebijakan pemerintah dan mengabaikan atau merasionalisasikan kejahatan pemerintah, dihormati dan mendapat keistimewaan di tengah masyarakat mereka. Sedangkan para intelektual yang berorientasi pada nilai-intuitif dihukum; dicaci; dipaksa untuk salah; terdistorsi; dengan satu atau cara lain.

Polanya kembali pada catatan sejarah paling dasar: Mereka yang meminum racun karena ingin menghancurkan generasi muda Athena pada era pra-socratik. Seperti yang terjadi pada Socrates intelekual Athena yang dibungkam bahkan dihukum mati dikarenakan ia memiliki kesadaran tentang bagaimana "keadilan dan kebenaran" yang sebenar-benarnya harus berjalan.

Namun, Pemerintah Athena menganggap Socrates sebagai perusak generasi muda dan harus dihukum. Dalam situasi saat ini, apa yang disebut sebagai intelektual murni adalah kelompok pembangkang yang harus ditekan dan terintimidasi. Mereka akan selalu membuat marah para penguasa melalui analisis geopolitik yang kritis, hujatan terhadap kejahatan yang dilakukan pemerintah, berbagai seruan atas keadilan dan kepedulian untuk mencapai tujuan ideal pergerakan intelektual muda.

Intelektual secara khusus punya hak istimewa; keistimewaan melahirkan kesempatan, dan kesempatan melimpahkan tanggung jawab. Seorang individu juga punya pilihan (Noam Chomsky: 2016). Keberadaan intelektual harus dimaknai sebaik-baiknya dan diberdayakan berdasarkan kemampuan. Pengetahuan tentang keberadaan intelektual di Indonesia akan membantu proses penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik dan bijaksana untuk memahami konsep keadilan dan pemerataan. Hanya dengan mengurangi stigmatisasi atas intelektual akan membantu mewujudkan alam demokrasi yang baik di Indonesia.

 

Oleh: Christo Aldo Manalu, S.AP – Dhana Aras Consulting

Komentar